Buat Yang Udah
Nikah, Mau Nikah, Dan punya Niat untuk nikah.
Bertengkar
adalah fenomena yang sulit dihindari dalam kehidupan berumah tangga, kalau ada
seseorang berkata: "Saya tidak pernah bertengkar dengan isteri saya
!" Kemungkinannya dua, boleh jadi dia belum beristeri, atau ia tengah
berdusta. Yang jelas kita perlu menikmati sa'at-sa'at bertengkar itu,
sebagaimana lebih menikmati lagi sa'at sa'at tidak bertengkar. Bertengkar itu
sebenarnya sebuah keadaan diskusi, hanya saja dihantarkan dalam muatan emosi
tingkat tinggi. Kalau tahu etikanya, dalam bertengkar pun kita bisa mereguk
hikmah, betapa tidak, justru dalam pertengkaran, setiap kata yang terucap
mengandung muatan perasaan yang sangat dalam, yang mencuat dengan desakan
energi yang tinggi, pesan pesannya terasa kental, lebih mudah dicerna ketimbang
basa basi tanpa emosi.
Salah satu
diantaranya adalah tentang apa yang harus dilakukan kala kita bertengkar, dari
beberapa perbincangan hingga waktu yang mematangkannya, tibalah kami pada
sebuah Memorandum of Understanding, bahwa kalau pun harus bertengkar, maka :
1. Kalau bertengkar tidak boleh berjama'ah.
Cukup seorang saja yang marah marah, yang terlambat mengirim sinyal nada
tinggi harus menunggu sampai yang satu reda. Untuk urusan marah pantang berjama'ah,
seorangpun sudah cukup membuat rumah jadi meriah. Ketika ia marah dan saya mau
menyela, segera ia berkata "STOP" ini giliran saya ! Saya harus diam
sambil istighfar. Sambil menahan senyum saya berkata dalam hati : "kamu
makin cantik kalau marah, makin energik ..." Dan dengan diam itupun saya
merasa telah beramal sholeh, telah menjadi jalan bagi tersalurkannya luapan
perasaan hati yang dikasihi... "duh kekasih .. bicaralah terus, kalau
dengan itu hatimu menjadi lega, maka dipadang kelegaan perasaanmu itu aku
menunggu ...."
Demikian juga kalau pas kena giliran saya "yang olah raga otot
muka",saya menganggap bahwa distorsi hati, nanah dari jiwa yang
tersinggung adalah sampah, ia harus segera dibuang agar tak menebar kuman, dan
saya tidak berani marah sama siapa siapa kecuali pada isteri saya maka kini giliran dia yang harus bersedia
jadi keranjang sampah. Pokoknya khusus untuk marah, memang tidak harus
berjama'ah, sebab ada sesuatu yang lebih baik untuk dilakukan secara berjama'ah
selain marah
2. Marahlah untuk persoalan itu saja, jangan ungkit yang telah terlipat
masa.
Siapapun kalau diungkit kesalahan masa lalunya, pasti terpojok, sebab masa
silam adal ah bagian dari sejarah dirinya yang tidak bisa ia ubah. Siapapun
tidak akan suka dinilai dengan masa lalunya. Sebab harapan terbentang mulai
hari ini hingga ke depan. Dalam bertengkar pun kita perlu menjaga harapan,
bukan menghancurkannya. Sebab pertengkaran di antara orang yang masih mempunyai
harapan, hanyalah sebuah foreplay, sedang pertengkaran dua hati yang patah asa,
menghancurkan peradaban cinta yang telah sedemikian mahal dibangunnya.
Kalau saya terlambat pulang dan ia marah, maka kemarahan atas keterlambatan
itu sekeras apapun kecamannya, adalah "ungkapan rindu yang keras".
Tapi bila itu dikaitkan dgn seluruh keterlambatan saya, minggu lalu, awal bulan
kemarin dan dua bulan lalu, maka itu membuat saya terpuruk jatuh.
Bila teh yang disajinya tidak manis (saya termasuk penimbun gula), sepedas
apapun saya marah, maka itu adalah "harapan ingin disayangi lebih
tinggi". Tapi kalau itu dihubungkan dgn kesalahannya kemarin dan tiga h
ari lewat, plus tuduhan "Sudah tidak suka lagi ya dengan saya", maka
saya telah menjepitnya dengan hari yang telah pergi, saya menguburnya di masa
lalu, ups saya telah membunuhnya, membunuh cintanya. Padahal kalau cintanya
mati, saya juga yang susah ... OK, marahlah tapi untuk kesalahan semasa, saya
tidak hidup di minggu lalu, dan ia pun milik hari ini .....
3. Kalau marah jangan bawa bawa keluarga !
Saya dengan isteri saya terikat baru beberapa masa, tapi saya dengan ibu
dan bapak saya hampir berkali lipat lebih panjang dari itu, demikian juga ia
dan kakak serta pamannya. Dan konsep Quran, seseorang itu tidak menanggung
kesalahan fihak lain (QS.53:38-40).
Saya tidak akan terpancing marah bila cuma saya yang dimarahi, tapi kalau
ibu saya diajak serta, jangan coba coba. Begitupun dia, semenjak saya
menikahinya, saya telah belajar mengabaikan siapapun di dunia ini selain dia,
karenanya mengapa harus bawa bawa barang lain ke kancah "awal cinta yan g
panas ini".
Kata ayah saya : "Teman seribu masih kurang, musuh satu terlalu
banyak". Memarahi orang yang mencintai saya, lebih mudah dicari ma'afnya
dari pada ngambek pada yang tidak mengenal hati dan diri saya..". Dunia sudah
diambang pertempuran, tidak usah ditambah tambah dengan memusuhi mertua!
4. Kalau marah jangan di depan anak anak !
Anak kita adalah buah cinta kasih, bukan buah kemarahan dan kebencian. Dia
tidak lahir lewat pertengkaran kita, karena itu, mengapa mereka harus menonton
komedi liar rumah kita.
Anak yang melihat orang tua nya bertengkar, bingung harus memihak siapa.
Membela ayah, bagaimana ibunya. Membela ibu, tapi itu 'kan bapak saya. Ketika
anak mendengar ayah ibunya bertengkar :
* Ibu : "Saya ini cape, saya bersihkan rumah, saya masak, dan kamu
datang main suruh begitu, emang saya ini babu ?!!!"
* Bapak : "Saya juga cape, kerja seharian, kamu minta ini dan itu dan
aku harus mencari lebih banyak untuk itu , saya datang hormatmu tak ada, emang
saya ini kuda ????!!!!
* Anak : "...... Yaaa ...ibu saya babu, bapak saya kuda .... terus
saya ini apa ?"
Kita harus berani berkata : "Hentikan pertengkaran !" ketika anak
datang, lihat mata mereka, dalam binarannya ada rindu dan kebersamaan. Pada
tawanya ada jejak kerjasama kita yang romantis, haruskah ia mendengar kata basi
hati kita ???
5. Kalau marah jangan lebih dari satu waktu shalat !
Pada setiap tahiyyat kita berkata : "Assalaa-mu 'alaynaa wa 'alaa
'ibaadilahissholiihiin" Ya Allah damai atas kami, demikian juga atas hamba
hambamu yg sholeh .... Nah andai setelah salam kita cemberut lagi, setelah
salam kita tatap isteri kita dengan amarah, maka kita telah mendustai Nya,
padahal nyawamu ditangan Nya.
OK, marahlah sepuasnya kala senja, tapi habis maghrib harus terbukti lho
itu janji dengan Ilahi ..... Marahlah habis shubuh, tapi jangan lewat waktu
dzuhur, Atau maghrib sebatas isya .. . Atau habis isya sebatas....???
Nnngg....... Ah kayaknya kita sepakat kalau habis isya sebaiknya memang tidak
bertengkar ...
6. Kalau kita saling mencinta, kita harus saling mema'afkan
(Hikmah yang ini saya dapat belakangan, ketika baca di koran resensi sebuah
film). Tapi yang jelas memang begitu, selama ada cinta, bertengkar hanyalah
"proses belajar untuk mencintai lebih intens" Ternyata ada yang masih
setia dengan kita walau telah kita maki-maki. Ini saja, semoga bermanfa'at.
"Dengan ucapan syahadat itu berarti kita menyatakan diri untuk
bersedia dibatasi".
Selamat tinggal kebebasan tak terbatas yang dipongahkan manusia pintar.
0 komentar:
Posting Komentar